Kamis, 11 November 2021

Lupa cara mencintai

Aku menyesal, katamu lirih. Kau datang dengan wajah datar seolah tak menyisakan guratan kebahagiaan. Matamu berkaca saat mulutmu mengeja frasa tentang suatu fase kehidupan yang telah engkau lakoni 3 tahun terakhir.

Dengan segala pilu yang tersembunyi di balik bilik matamu kau melanjutkan menyulam kata merangkai kisah hidupmu yang tak asyik di dengar. Aku pikir cerita seperti ini hanya ada dalam tayangan film-film Indosiar. Hari ini dengan segala sesal kau mendarasnya dari rangkaian kenyataan.
Aku melihat dari bilik matamu bahwa hatimu menangis sedu. Syukur saji masih tersisa ego lelakimu yang membalut kesedihan itu hingga tak seluruhnya tumpah.
"Dasar perempuan berkepala merak." Tetiba terdengar kau mengumpat. Seolah engkau menderita kesal akut. Padahal sebelum-sebelumnya bahkan engkau tak sanggup bicara kasar pada perempuan. Seolah engkau telah melupakan cara mencintai di mana dirimu pernah buta dibuatnya. Pengalaman hidup memang kerap kali adalah nasihat paling ampuh dalam menyulam kesadaran. Sayangnya, seringkali ia terbaca setelah kehancuran suatu fase kehidupan.
Bahkan terkadang, nasihat orang tua, saudara apalagi teman tak cukup ampuh menyadarkan kita. Apalagi hanya cerita, seperti cerpen.

Buol, 11 Nopember 2021

Lupa

Satu jam telah berlalu, Aku masih saja terjebak di pelataran salah satu mesjid kecil di tepi jalan yang sering aku lewati setiap wara wiri ketempat kerja. Berteduh di tempat wudhu para jamaah jika hendak menunaikan shalat. Hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda mau redah. Padahal telah mengencingi bumi sejak bumi mulai terang meski sang Surya belum sempat menampakkan diri.
"Sial," gumamku. Kondisi alam memaksaku untuk mampir di tempat ini. Padahal, di hari-hari sebelumnya aku melewatinya berlalu begitu saja, meski mendengar suara Muazin menggema dari toa yang tergantung di atas kubah. Hati tidak pernah tergerak untuk menghampirinya. Iya, aku telah berjalan terlalu jauh tunduk pada kesibukan-kesibukanku dan melupakan seluruh ajaran guru ngajiku dahulu di masa kanak-kanak.
Tiba-tiba hati berbisik, "mengapa aku tidak lepas saja sepatu, mengambil air wudhu sembari melaksanakan shalat Dhuha". Shalat yang dipercaya membuka pintu-pintu Rizki, keberkahan dan kebahagiaan. Bukankah dulu semasa masih sekolah meski tak rutin tetapi sering mengerjakannya. Lagi pula, hujan belum juga menampakkan tanda-tanda mau redah.
Saat mau membuka sepatu, tiba-tiba muncul pikiran lain. "Apakah kau tidak malu, tiba-tiba melaksanakan sesuatu yang sudah lama kau abaikan hanya karena kondisimu terjebak". Pikiran kembali berkecamuk. Antara mau melaksanakan atau tidak.
"Apa tidak sebaiknya aku memaksakan diri mengambil sepedaku sambil menerobos hujan. Tidak, tidak, hujannya terlalu deras. Jika pilihan itu aku lakukan batuk pasti akan kambuh lagi".
Aku terbayang akan kehidupan di tahun-tahun lalu saat masih ngaji di masa kecil, di mana hati sangat terpaut dengan Masjid, seolah melangkah ke Masjid tanpa beban saat azan berkumandang. Hati penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Kini aku telah jauh dari perasaan itu. Sejak kesibukan mengejar dunia di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Tiba-tiba dorongan untuk memasuki Masjid muncul lagi. "Ayolah, ini lah saatnya untuk memperbaiki. Anda berada dan terjebak di sini bukanlah kebetulan". Akan tetapi, sekali lagi aku benar-benar malu, malu pada diri sendiri, malu atas kealpaan-kealpaanku selama ini. Bagaimana mungkin aku melakukan hal yang bertahun-tahun tak lagi dianggap menjadi hal penting untuk dilakukan.
Hujan sudah mulai menunjukkan tanda-tanda mau redah. "Kamu harus melakukannya, bisik hatiku". Aku melepaskan sepatu, bergegas ke salah satu kran di tempat wudhu.

Aku terpaku, hujan sudah benar-benar mau redah. Aku bimbang, apa aku lanjutkan perjalanan saja atau masuk untuk melaksanakan shalat. Dan akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku lupa mandi wajib. 

Buol, 9 Nopember 2021

Kamis, 04 November 2021

KRITIK

Ketika salah satu Arsitek Revolusi Islam Iran dari sayap kiri, Ali Syari'ati ditanya oleh salah satu Garda Revolusi dari sayap kanan Murthada Muthahari, "mengapa Anda terus menerus mengkritik Hauzah (semacam pusat pendidikan Islam semacam pesantren) dan tidak mengkritik pendidikan barat padahal di sana juga sangat banyak yang perlu dikritik?". Ali Syari'ati menjawab, "saya mengkritik Hauzah karena saya punya kepentingan besar untuk Hauzah bisa berbenah diri dan maju", sedangkan untuk pendidikan-pendidikan barat saya tidak memiliki harapan apa-apa di sana".

Iya. Dalam perkara kritik mengkritik kita sering menemukan beragam tanggapan. Ada yang menanggapinya positif sebagai alat untuk mengevaluasi diri dan kebijakan, namun tak sedikit yang menanggapi negatif dan memusuhi pengkritik.


Tak jarang kita mendengar ucapan, "Anda hanya tau mengkritik saja, mana kerjamu", padahal ia tak memiliki akses untuk bekerja pada wilayah itu karena tak memiliki akses apalagi dalam hal pengambilan kebijakan. Maka, tentu saja langkah yang paling mungkin menjadi sumbangsihnya adalah melakukan evaluasi termasuk kritik konstruktif terhadap ketimpangan yang ia lihat. Ada pula yang berceloteh, "jangan hanya mengkritik, beri solusi". Nah pernyataan seperti ini apalagi. Tugas kritikus ya mengkritik, mencari solusi adalah tugas para pengambil kebijakan yang dipercayakan di sana. Bukankah ia diberi tugas di sana karena dianggap cakap untuk pekerjaan itu.

Namun demikian, nampak bahwa kita belum siap dengan tradisi kritik mengkritik, baik pihak yang dikritik maupun pengkritik. Yang dikritik alih-alih mengevaluasi diri dan kebijakan malah tak jarang ia menganggap dihina. Demikian pula pengritik, alih-alih ia memberikan kritik malah terjebak pada menghina dan tak jarang memfitnah.


Semoga kita makin dewasa menyikapi kritik.