… ini itu Agama
Diskursus mengenai
agama sudah banyak digeluti oleh berbagai kalangan. Baik intelektual, ilmuan, pemikir,
para kiyai, ustat dan bahkan ateis sekalipun. Kait kelindan konsepsi agama
tidak lain sebagai sebuah respon terhadap bekunya agama. Bahkan tidak jarang agama
membuahkan dogma, sampai pada tingkat melecehkan akal. Mungkin wajar kalau
sekiranya Sigmund Freud seorang Psikoanalisis yang banyak menjadi rujukan
psikiater kontemporer mengatakan bahwa orang
beragama adalah orang yang mengidap Neorosis (penyakit kejiwaan). Freud menurunkan pernyataan dari uraianya terhadap tragedi Yunani yang membuahkan
konsep “Oeidipus Complex”[1].
Meskipun dalam
telaah Alex Howard bahwa Freud telah memutuskan mata rantai sejarah dan
menghilangkan bagian pusaka budaya sehingga Oidipus
Complex Freudian menghilangkan
Kompleksitas Oedipus, namun yang terpenting dalam hal bukanlah pemutusan mata rantai
sejarah tersebut tapi pengaruh besar psikoanalisis Freudian terhadap psikologi
kontemporer dan dampaknya terhadap kebutuhan orang yang merindukan kemapanan.
kenapa mesti agama ?
Agama selalu
mengajarkan akan konsep keimanan terhadap tuhan. Tuhan ditempatkan sebagai
sesuatu yang berada diluar kita dan menjadi aktor semua kehidupan. Pemahaman
tentang tuhan pun menjadi diskursus yang hangat. Hal ini terlihat dengan
perdebatan – perdebatan teologis dan filosofis yang terus berkembang sampai
hari ini. Sepertinya seluruh energi pemikiran manusia bertuhan dicurahkan untuk
berpikir tentang tuhan. Tidak bisa dihindari kondisi ini pun sering menimbulkan
bias rasionalitas dengan menjadikan agama sebagai tujuan.
Sebagai orang
yang sejak kecil sudah dilengketkan agama (terutama dalam KTP) saya tertarik
untuk kembali memperbincangkan agama. Usaha ini bukan berarti
mengidentitaskan diri untuk mengklaim diri orang yang paling mengerti agama.
Tetapi usaha ini karena kegelisahan atas kekacauan terhadap wacana agama setelah
mengamati realitas kaum beragama. Karena Aku, kau dan kita semua tentunya sejak
kecil apa iya atau tidak pastilah sering mengaku beragama ketika ditanya.
Terlepas dia Islamkah (sebagaimana saya), kristenkah, Hindukah, Budhakah, atau
ateis yang konon katanya tidak beragama tetapi letaknya pada penempatan kata
agama itu. Orang ateis sekalipun tidak mengakui agama tetapi ketika
mengidentitaskan dirinya pada saat ditanya ia katakan tidak beragama, tidak suka agama atau agama candu .
Hal ini dirasa
perlu karena hampir seluruh manusia (..maaf,
saya gunakan kata hampir untuk menghindari generalisasi) senang menggunakan
kata agama, beragama, agamawan yang justru seringkali mereduksi agama dalam
aspek bahasa atau kata. Konsepsi agama sepertinya terlihat stagnan dan tidak
berkembang menuju lahirnya ilmu – ilmu. Justru yang terjadi hanyalah pergeseran
dari Teks ® Teks (meminjam skema
Kuntowijoyo) atau Konteks ® teks
yang pada gilirannya segenap usaha tereduksi pada upaya melahirkan kecintaan
mendalam pada agama bukan pada pesan suci yang diajarkannya. Agamapun berubah
menjadi misteri.
....lacak definisi
Berbagai
penerjemahan, pendefinisian dan bahkan pengertian agama yang berkembang
saat ini tentulah belum sepenuhnya memuaskan kita. Jalalaudin
Rahmat misalnya dalam buku Psikologi Agama tidak menunjukkan keberaniannya
untuk melakukan batasan definisi agama.
Agama sering
ditafsirkan dengan kepercayaan, keimanan, dan spritualitas. Pemahaman ini pada
akhirnya melahirkan mistisisme agama. Ini pun membuahkan hasil dan mengendorkan
keberanian untuk menguji lebih jauh keyakinan kita yang dipengaruhi oleh narasi
besar yang melekat dalam agama.
Dari latar
kehidupan masyarakat, agama bahkan hadir dan mengidentitaskan diri sebagai
pembangun kekuatan yang melindungi sebagian orang (orang – orang tertentu).
Agama model ini mendapatkan tempat yang subur di Negara kita (Indonesia).
Mungkin karena faktor sosiologis dan latar belakang kehidupan masyarakat
agraris. Karena dimanapun sebagaimana yang digambarkan Kuntowijoyo masyarakat
agraris memiliki kecenderungan ketergantungan terhadap negara. Menurut
Kuntowijoyo (2005 : 23) Hampir semua tipe sosial agraris tampaknya hanya
memiliki sistem kenegaraan “ Agro
managerial state” yang secara politis bercorak sentralistik dan Feodal[2].
Hal ini terjadi
karena tipe masyarakat petani memiliki ketergantungan besar terhadap negara.
Berbeda dengan negara kapitalis negara yang memiliki ketergantungan terhadap
pihak swasta. Sepertinya hal ini dipahami betul oleh penguasa sehingga Agamapun
tergantung tafsir penguasa dengan kebutuhannya.
....dominasi pemahaman.
Agama
dalam konteks kata, pada dasarnya tidak ada ubahnya dengan kata kelompok, komunitas, himpunan, ikatan, asosiasi, forum dan lain
sebagainya. Agama dalam wilayah ini (teks) hanya sebagai penanda
terhadap –mungkin tidak salah jika kita gunakan pada– sesuatu yang pada dasarnya membutuhkan kemapanan
sebagaimana. Bukan hanya Islam, Kristen, Hindu dan Budha yang bisa kita
letakkan kata agama didepannya (sehingga jadi agama Islam, agama kristen, agama
hindu, agama budha). Tetapi tidak haram jika kita gunakan dalam komunalisme
ajaran lain yang merindukan kemapanan seperti kapitalisme, komunisme,
sosialisme, liberalisme dan isme-isme lainnya. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kapitalis
sebagai agama, komunis sebagai agama, sosialis sebagai agama jika dipadankan
dengan realitas keagamaan sekarang. Sehingga lahirlah agama marxis (alah O.
Hasem), agama komunis, agama kapitalis, bahkan Agama Pancasila.
... komunalisme ajaran atau institusi
Kesamaan
pemahaman memungkinkan bertemunya manusia dalam garis tujuan. Dalam wilayah
inilah munculnya identifikasi diri serta terdorongnya orang untuk
mendedikasikan dirinya. Keadaan ini melahirkan suatu komunitas sebagaimana
terlihat pada latar belakang berdirinya institusi – institusi. Disinilah lahir
pelabelan – pelabelan. Jadi label mengikuti bukan mengawali. Kecintaan
berlebihan pada label terkadang membunuh hasrat untuk menelusuri lebih jauh kualitas
isi. Isi tereduksi dalam label sehingga label lebih ditonjolkan.
Agama
pada dasarnya hanyalah label yang diikutkan pada komunitas manusia yang
memiliki pemahaman, kepercayaan serta keyakinan yang sama. Dari sini sebenarnya
yang terpenting bukanlah agamanya tetapi sesungguhnya ajaran yang ada
didalamanya. Dengan demikian dibutuhkan upaya untuk menguji
lebih jauh tentang model pemahaman, kepercayaan dan keyakinan yang kita miliki, sebelum
kita memaksakan label yang kita pegang, sehingga tidak
menimbulkan kekecewaan pada orang yang mencicipinya.
Dengan demikian
kita justru semakin arif dan memahami bahwa agama sesungguhnya adalah komunalisme ajaran yang memiliki
tujuan yang begitu dinamis yang menggerakkan
berbagai potensi bukan sebagai institusi yang menjadi alat dominasi dan pelegitimasi
kepentingan yang akhirnya membuahkan kemuakan.
Limba U,
21-05-2006
[1] Freud secara gamblang menguraikan tragedi
Yunani tersebut dimana Oeidipus membunuh ayahnya karena figur ayah dianggap
yang menghalangi hasrat untuk mengawini ibunya. Setelah ayahnya dibunuh
kemudian ia merasa menyesal dan ia tetap membutuhkan figur ayah. Hal inilah
menuntun ia untuk menciptakan totem (tuhan) sebagai pengganti figur ayah.
[2]
Kuntowijoya, Islam Sebagai Ilmi : Epistemologi, Metodologi dan etika ,
Teraju ; Jakarta Selatan
2005 hal 23
Tidak ada komentar:
Posting Komentar