Jumat, 04 Mei 2012

kEtika aGama jAdi feNomena


… ini itu Agama
Diskursus mengenai agama sudah banyak digeluti oleh berbagai kalangan. Baik intelektual, ilmuan, pemikir, para kiyai, ustat dan bahkan ateis sekalipun. Kait kelindan konsepsi agama tidak lain sebagai sebuah respon terhadap bekunya agama. Bahkan tidak jarang agama membuahkan dogma, sampai pada tingkat melecehkan akal. Mungkin wajar kalau sekiranya Sigmund Freud seorang Psikoanalisis yang banyak menjadi rujukan psikiater kontemporer mengatakan bahwa orang beragama adalah orang yang mengidap Neorosis (penyakit kejiwaan). Freud menurunkan pernyataan dari uraianya terhadap tragedi Yunani yang membuahkan konsep “Oeidipus Complex[1].
Meskipun dalam telaah Alex Howard bahwa Freud telah memutuskan mata rantai sejarah dan menghilangkan bagian pusaka budaya sehingga Oidipus Complex  Freudian menghilangkan Kompleksitas Oedipus, namun yang terpenting dalam hal bukanlah pemutusan mata rantai sejarah tersebut tapi pengaruh besar psikoanalisis Freudian terhadap psikologi kontemporer dan dampaknya terhadap kebutuhan orang yang merindukan kemapanan.

kenapa mesti agama ?
Agama selalu mengajarkan akan konsep keimanan terhadap tuhan. Tuhan ditempatkan sebagai sesuatu yang berada diluar kita dan menjadi aktor semua kehidupan. Pemahaman tentang tuhan pun menjadi diskursus yang hangat. Hal ini terlihat dengan perdebatan – perdebatan teologis dan filosofis yang terus berkembang sampai hari ini. Sepertinya seluruh energi pemikiran manusia bertuhan dicurahkan untuk berpikir tentang tuhan. Tidak bisa dihindari kondisi ini pun sering menimbulkan bias rasionalitas dengan menjadikan agama sebagai tujuan.
Sebagai orang yang sejak kecil sudah dilengketkan agama (terutama dalam KTP) saya tertarik untuk kembali memperbincangkan agama. Usaha ini bukan berarti mengidentitaskan diri untuk mengklaim diri orang yang paling mengerti agama. Tetapi usaha ini karena kegelisahan atas kekacauan terhadap wacana agama setelah mengamati realitas kaum beragama. Karena Aku, kau dan kita semua tentunya sejak kecil apa iya atau tidak pastilah sering mengaku beragama ketika ditanya. Terlepas dia Islamkah (sebagaimana saya), kristenkah, Hindukah, Budhakah, atau ateis yang konon katanya tidak beragama tetapi letaknya pada penempatan kata agama itu. Orang ateis sekalipun tidak mengakui agama tetapi ketika mengidentitaskan dirinya pada saat ditanya ia katakan tidak beragama, tidak suka agama atau agama candu .
Hal ini dirasa perlu karena hampir seluruh manusia (..maaf, saya gunakan kata hampir untuk menghindari generalisasi) senang menggunakan kata agama, beragama, agamawan yang justru seringkali mereduksi agama dalam aspek bahasa atau kata. Konsepsi agama sepertinya terlihat stagnan dan tidak berkembang menuju lahirnya ilmu – ilmu. Justru yang terjadi hanyalah pergeseran dari Teks ® Teks (meminjam skema Kuntowijoyo) atau Konteks ® teks yang pada gilirannya segenap usaha tereduksi pada upaya melahirkan kecintaan mendalam pada agama bukan pada pesan suci yang diajarkannya. Agamapun berubah menjadi misteri.

....lacak definisi
Berbagai penerjemahan, pendefinisian dan bahkan pengertian agama yang berkembang saat ini tentulah belum sepenuhnya memuaskan kita. Jalalaudin Rahmat misalnya dalam buku Psikologi Agama tidak menunjukkan keberaniannya untuk melakukan batasan definisi agama.
Agama sering ditafsirkan dengan kepercayaan, keimanan, dan spritualitas. Pemahaman ini pada akhirnya melahirkan mistisisme agama. Ini pun membuahkan hasil dan mengendorkan keberanian untuk menguji lebih jauh keyakinan kita yang dipengaruhi oleh narasi besar yang melekat dalam agama.
Dari latar kehidupan masyarakat, agama bahkan hadir dan mengidentitaskan diri sebagai pembangun kekuatan yang melindungi sebagian orang (orang – orang tertentu). Agama model ini mendapatkan tempat yang subur di Negara kita (Indonesia). Mungkin karena faktor sosiologis dan latar belakang kehidupan masyarakat agraris. Karena dimanapun sebagaimana yang digambarkan Kuntowijoyo masyarakat agraris memiliki kecenderungan ketergantungan terhadap negara. Menurut Kuntowijoyo (2005 : 23) Hampir semua tipe sosial agraris tampaknya hanya memiliki sistem kenegaraan “ Agro managerial state” yang secara politis bercorak sentralistik dan Feodal[2].
Hal ini terjadi karena tipe masyarakat petani memiliki ketergantungan besar terhadap negara. Berbeda dengan negara kapitalis negara yang memiliki ketergantungan terhadap pihak swasta. Sepertinya hal ini dipahami betul oleh penguasa sehingga Agamapun tergantung tafsir penguasa dengan kebutuhannya.

....dominasi pemahaman.
            Agama dalam konteks kata, pada dasarnya tidak ada ubahnya dengan kata kelompok, komunitas, himpunan, ikatan, asosiasi, forum dan lain sebagainya. Agama dalam wilayah ini (teks) hanya sebagai penanda terhadap mungkin tidak salah jika kita gunakan padasesuatu  yang pada dasarnya membutuhkan kemapanan sebagaimana. Bukan hanya Islam, Kristen, Hindu dan Budha yang bisa kita letakkan kata agama didepannya (sehingga jadi agama Islam, agama kristen, agama hindu, agama budha). Tetapi tidak haram jika kita gunakan dalam komunalisme ajaran lain yang merindukan kemapanan seperti kapitalisme, komunisme, sosialisme, liberalisme dan isme-isme lainnya.  Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kapitalis sebagai agama, komunis sebagai agama, sosialis sebagai agama jika dipadankan dengan realitas keagamaan sekarang. Sehingga lahirlah agama marxis (alah O. Hasem), agama komunis, agama kapitalis, bahkan Agama Pancasila.

... komunalisme ajaran atau institusi
            Kesamaan pemahaman memungkinkan bertemunya manusia dalam garis tujuan. Dalam wilayah inilah munculnya identifikasi diri serta terdorongnya orang untuk mendedikasikan dirinya. Keadaan ini melahirkan suatu komunitas sebagaimana terlihat pada latar belakang berdirinya institusi – institusi. Disinilah lahir pelabelan – pelabelan. Jadi label mengikuti bukan mengawali. Kecintaan berlebihan pada label terkadang membunuh hasrat untuk menelusuri lebih jauh kualitas isi. Isi tereduksi dalam label sehingga label lebih ditonjolkan.  
            Agama pada dasarnya hanyalah label yang diikutkan pada komunitas manusia yang memiliki pemahaman, kepercayaan serta keyakinan yang sama. Dari sini sebenarnya yang terpenting bukanlah agamanya tetapi sesungguhnya ajaran yang ada didalamanya. Dengan demikian dibutuhkan upaya untuk menguji lebih jauh tentang model pemahaman, kepercayaan dan keyakinan yang kita miliki, sebelum kita memaksakan label yang kita pegang, sehingga tidak menimbulkan kekecewaan pada orang yang mencicipinya.
Dengan demikian kita justru semakin arif dan memahami bahwa agama sesungguhnya adalah komunalisme ajaran yang memiliki tujuan yang begitu dinamis yang menggerakkan berbagai potensi bukan sebagai institusi yang menjadi alat dominasi dan pelegitimasi kepentingan yang akhirnya membuahkan kemuakan.

Limba U, 21-05-2006


[1] Freud secara gamblang menguraikan tragedi Yunani tersebut dimana Oeidipus membunuh ayahnya karena figur ayah dianggap yang menghalangi hasrat untuk mengawini ibunya. Setelah ayahnya dibunuh kemudian ia merasa menyesal dan ia tetap membutuhkan figur ayah. Hal inilah menuntun ia untuk menciptakan totem (tuhan) sebagai pengganti figur ayah.
[2] Kuntowijoya,  Islam Sebagai Ilmi : Epistemologi, Metodologi dan etika , Teraju ; Jakarta Selatan
   2005 hal 23

Tidak ada komentar: