Jumat, 27 Agustus 2010

Harapanku, Malangku

Harapanku, Malangku
Enyahlah engkau dari sini, manusia pembawa kecemasan dan rasa takut. Kau hanya meresahkan dan menimbulkan kekecewaan serta was-was padaku.
“Emang siapa dia Nyi’ ?”. Tiba-tiba Seli Bersuara. “entahlah” jawab Sunyi. “orang yang berasal dari tempat sepi”, Sunyi melanjutkan jawabanya.

“Apakah dia tamu tetapmu Nyi ?” Tanya Seli. Seli adalah teman Sunyi ditempat Sunyi tinggal sekarang, mereka sering bersama hampir tiap hari. Seli sering menyelidiki jika ada sesuatu yang menyebakan perubahan paras wajah Sunyi. Boleh dikata Seli memang teman akrab Sunyi, tempat berbagi dan bahkan mengeluh.

“Dia sering datang setelah kejadian yang menghiasi alur hidupku empat Tahun lalu”. Demikian Sunyi menjawab pertanyaan Seli. Jika kau tidak keberatan sebenarnya kejadian apa yang pernah menimpahmu ?” tanya Seli penuh Selidik dan memang bermaksud ingin mengtahui lebih jauh. Maklum Seli satu-satunya Teman Sunyi saat ini. Dengan agak sendu Sunyi menceritakan pada Seli apa yang pernah dialaminya .

” Kurang lebih empat tahun lalu tepatnya bulan September ada serangkaian peristiwa yang menyenangkan dan peristiwa memilukan terjadi dalam jangka waktu 15 Jam. Menyenangkan karena memang pantas untuk membuat senang. Bagaimana tidak Sunyi yang berasal dari kalangan keluarga yang memiliki perekonomian pas-pasan berhasil menyelesaikan kuliah. Peristiwa memilukan karena pada saat hampir bersamaan Sunyi kehilangan seorang yang sangat erat hubungannya dengan apa yang baru terselesaikan. Dalam kondisi serba sulit, ia tidak pernah mengeluh dan tetap bekerja keras agar apa yang Sunyi inginkan dan yang ia harapkan bisa tercapai. Motivasinya ada pada usaha kerja keras dan kesungguhannya untuk memenuhi krbutuhan Sunyi. Ia tidak lain adalah ayah Sunyi yang meninggalkan Sunyi kurang lebih 15 jam setelah prosesi penobatan Gelar Sarjana Sunyi. Ia menghembuskan Napas terekhirnya dikota dimana tempat Sunyi menyelesaikan kuliah. Yang paling memilukan karena Sunyi telah berusaha mendatangkan orang tuanya tersebut dari kampung halaman yang jaraknya kurang lebih 300 km dari kota tempat sunyi kuliah.

Karena peristiwa itulah akhirnya Sunyi merasa terpukul dan seakan tersungkur disudut kehidupan. Sunyi merasa lemah, kalah seiring dengan lelahnya jiwa menghantui raga seakan mendorong gejolak hasratnya untuk mengibarkan bendera putih kehidupan seakan menyerah pada waktu. Tidak lain karena merasa belum sempat mengabdikan ilmunya dimata sang ayah. Akhirnya Sunyi seakan jadi orang apatis. Hari-hari setelah itu penuh dengan wajah murung. Tersungkurnya semangat seiring dengan tergoleknya tanah kuburan. Tanah yang diharapkan jadi pijakan kaki-kaki pribumi dibawah cahaya mentari yang setiap saat datang melanjutkan sang fajar hingga menguszpkan mega merah dimata sunyi telah berubah jadi tumpukan kaku yang membuyar dan mengaburkan semua impiannya. Apa hendak dikata, kejadian tersebut diluar kendalinya.

Beberapa hari setelah kejadian tersebut Sunyi berusaha bangkit dan kembali ke Kota tempatnya Kuliah dulu, dengan maksud ingin mengasah kembali semangat hidup yang pernah ia miliki sebelumnya. Disinilah Sunyi mulai dihantui oleh kecemasan dan bahkkan ketakutan. Cemas karena ada peristiwa yang setiap saat mengintai diluar dugaannya. Setiap jarum jam menunjukkan pada angka yang sama dengan posisi jarum jam saat al-marhum ayahnya meninggal, ia selalu cemas, was-was, perasaan tak karuan dan bahkan ketakutan. Peristiwa tersebut seakan menjadi suatu peristiwa yang tidak akan pernah terlupakan. Kejadian aneh ini masih terus berlangsung sampai saat ini, masih berkelana, bermain dalam alam sadar Sunyi. Sampai kemudian Seli mendapatkannya seakan ia membentak-bentak seseorang.
‘Dan apakah yang dilakukan si orang Penting itu di tempat ini?' tanya Seli. “Orang penting itu sering lewat dan menyapaku”, tutur sunyi. Terkadang Ia mampir untuk menasihatiku seakan dimatanya aku memang layak untuk menerima khotbah-khotbah kebajikannya.

“Entah kenapa Seli, beberapa bulan terakhir ini aku sering dikunjungi oleh orang-orang yang tidak aku kenal sebelumnya. Kedatangan merekapun terkadang mereka lakukakan dengan sengaja untuk menemuiku, namun tak jarang mereka hanya kebetulan lewat dan sempat mampir untuk bercakap-cakap”, Sunyi memaparkan kepada Seli tentang kejadian-kejadian yang dialaminya akhir-akhir ini.

“Pernah suatu hari, Sunyi juga kedatangan seseorang yang juga tidak ia kenal sebelumnya. Kali ini yang datang tampangnya agak aneh dan terus tertawa. Melihat gelagat orang yang datang tersebut, Akhirnya Sunyi keheranan dan bertanya kepadanya “Apa yang membuatmu datang seperti ini ?”. Si orang Penting menjawab: 'Aku membuat nyanyian dan menyanyikannya; dan ketika aku membuat nyanyian, aku tertawa, menangis dan bersenandung: jadi dengan melakukan semua itu aku mendendangkan Harapan. Dengan bernyanyi, menangis, tertawa, dan bersenandung aku mendendangkan Harapan yang adalah Harapanku. Tetapi apa yang engkau berikan kepada kami sebagai hadiah?' Ketika Sunyi mendengar kata-kata ini ia mengucapkan bahasa pengusiran dan berkata: 'Apa yang dapat kumiliki untuk kuberikan kepadamu? Enyahlah kau dari sini biarkanlah aku disini dengan segera agar aku tidak mengambil sesuatu daripadamu!' Dan kemudian orang penting itu pergi berpisah dengan Sunyi. Keduanya, baik sunyi maupun orang penting itu berjalan sambil tertawa seperti dua anak lelaki tertawa.
Tetapi selepas kejadian itu, ketika Sunyi sendirian ia berbicara kepada dirinya sendiri: 'Mungkinkah itu? Si orang penting di bumi ini belum mendengar apa-apa tentang hal ini, bahwa Harapan sudah tak berdaya !'. ia hanya datang menghiasi mimpi-mimpi anak manusia. Ia muncul bagai cahaya matahari yang hanya memperlihatkan keperkasaannya disiang hari tapi takluk pada hukum alam dimalam hari. Harapan sering tak berdaya terhadap realitas. Hidup adalah pilihan dengan mimpi-mimpi dan harapan semakin kabur. Bahwa sesungguhnya kau dikendalikan. Adapun kau sukses karena dikendalikan. Itu bukan benar-benar usaha dan kreatifitasmu. Itu takdir. Demikian halnya nasib buruk yang menimpa dirimu juga takdir. Sama halnya dengan kau dilahirkan kau tak ada pilihan untuk memilih dilahirkan atau tidak, memilih dilahirkan dari rahim siapa, memilih lahir dengan jenis kelamin apa, dan memilih lahir dengan masa depan yang bagaimana. Lantas apa makna harapan. Ia hanya menyusahkan. Ia hanya memperbudak. Ia tak berdaya, sama seperti tak berdayanya para penghotbah dimimbar-mimbar. Sunyi mulai merenungi. Serangkaian kejadian-kejadian yang menghiasi perjalanan hidupnya seakan cukup ia jadikan pelajaran. Sampai akhirnya Seseorang datang menemuinya. Sebelum seli datang dihari itu.
“Hei Sedang apa, apa yang membuat kau termenung ?”, Sunyi menggeleng tanpa mengeluarkan sepata kata pun. “apakah kau berpuasa ?” demikian Alim memecahkan keheningan. “Untuk apa ?” Tanya Sunyi Cuek. “Itukan perintah” Jawab Alim. “Perintah……, perintah siapa ?, apa manfaatnya untukku ?, apa manfaatnya untuk umat ?, apa manfaatnya untuk masa depan peradaban manusia ?”, Tanya Sunyi penuh harap seakan kekecewaan menghiasi wajahya. “Astagfirullah, Istigfar Bung..!” ini bulan puasa. Puasa itu merupakan sesuatu yang diwajibkan oleh Allah kepada hambanya yang beriman, boleh dikata sebagai prasyarat menuju takwa apalagi Puasa Ramadhan’, demikian Alim menuturkan kewajiban puasa. Saat sunyi belum sempat bersuara Alim kembali berkomentar, Berita ini telah Allah sampaikan lewat firmannya dalam al-Qur’an Surat .al-Baqarah:183 "Wahai orang-orang yang beriman ! Diwajibkan kepada kamu puasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang yang sebelum kamu,supaya kamu menjadi orang-orang yang bertaqwa.". Karena itulah Bulan Ramadhan dianggap sebagai bulan latihan”, Alim terpaksa berbicara panjang lebar.
“Kau sama saja dengan mereka”, Sunyi menyela. “Mereka siapa Bung ?, Alim balik bertanya. “mereka yang berada dimimbar-mimbar. Mereka menyerukan hal yang sama sebagaimana yang kau khotbahkan tadi. Mereka mengatakan bulan puasa bulan latihan, bulan penuh berkah, bulan peperangan, bulan yang dinanti-natikan oleh orang-orang beriman, bulan yang kebaikannya lebih baik dari seribu bulan, dan sebagainya-dan sebagainya. Intinya bulan yang penuh dengan iming-iming. Bulan yang didalamnya harapan membumbung tinggi. Tapi apa kenyataanya ?’.Sunyi menimpali dengan wajah yang semakin memperlihatkan kekecewaan dan bahkan jika orang melihatnya dari sisi lain, wajahnya seakan memancarkan kemarahan meskipun didalam hatinya belum tentu demikian. Alim terpaku diam, penuh keheranan. Seakan ia tidak menduga jika ia mendapatkan pertanyaan seperti itu.
Belaian angin siang itu bertiup mempermainkankan ekor surban dan belahan sarung yang digunakan Alim. Maklum alim sedang berangkat menuju mesjid untuk melaksanakan shalat Ashar. Belum sempat Alim mengontrol keheranannya Sunyi kembali melanjutkan ugkapan kegelisahannya. “Bulan latihan……, latihan apa, latihan menahan hawa Nafsu?, kalau sekiranya itu benar kanapa tingkat belanja orang-orang dibulan puasa melonjak naik dan akhirnya pedagang lebih bernafsu lagi menaikkan harga dan akibatnya adalah harga barang naik, akibatnya juga biaya transportasi naik. Kemudian dilatih menahan lapar untuk sekedar ikut merasakan apa yang dirasakan oleh fakir miskin, lantas kenapa puasa sudah berlangsung beratus tahun toh juga orang-orang miskin masih dimiskinkan. Kenapa para pengacara, penegak hukum, jaksa, hakim, yang rajin ikut dan bahkan menyelenggarakan buka puasa bersama sering menanggalkan keadilan jika yang justru butuh pembelaan adalah orang miskin. Lihat para ustat lebih senang dekat dengan penguasa dari pada dengan orang-orang fakir miskin. Berkah, berkahkah itu ?, ketika sekelompok orang mendapatkan kucuran dana dan membentuk Tim Safari untuk melakukan Tarawih keliling dan ceramah selama 15 menit, setelah itu petugas mesjid diminta menandatangani SPPD.
Iming-iming apa lagi yang membuat orang menggantungkan harapan kemudian melaksanakan puasa,. “Alim semakin keheranan”, “apakah dengan puasa Ramdhan orang terlatih dan diharapkan lahir orang-orang yang memiliki perasaan kesabaran dan kasih sayanga, Pemurah, berkata benar, ikhlas, disiplin, terthindar dari sifat tamak dan rakus, percaya pada diri sendiri, dan sebagainya-dan sebagainya ?”. Jika benar orang terlatih memiliki perasaan kesabaran dan kasih sayang, lantas kenapa setiap menjelang lebaran pada prosesi nasional kaum urban (mudik) banyak terjadi kecelakaan disebabkan kurangnya kesabaran dan kasih sayang terhadap yang lemah ketika naik alat transportasi. Dan bahkan tak jarang berlangsung tindak kejahatan lainya. Jika benar terlatih pemurah, terthindar dari sifat tamak dan rakus, kenapa budaya korup semakin menggila, biaya pendidikan semakin meningkat. Berkata benar, kenapa para penegak hukum, Polisi, Jaksa dan Hakim justru tidak sanggup membongkar fakta apa adanya ?”. Belum sempat Alim menimpali, Sunyi . Untuk apa kita melaksanakan perintah itu kalau toh itu tidak berdampak terhadap kita.
“Bukan seperti itu Bung”, Alim terpaksa meyelah. “lantas seperti apa ?, Sunyi balik bertanya. “Seperti tafsir para penceramah itu..?, alasan yang dibuat-buat untuk membenarkan apa dilakukannya. “Astagfirullah… Takutlah pada Allah Bung….!”, Allah akan membalas semua yang kau lakukan kelak sekalipun engkau tidak bisa rasakan saat ini. Alim menimpali. “ Itu lagi-itu lagi, sama persis yang disampaikan para Penceramah itu. Penuh dengan iming-iming dan harapan yang mungkin tidak akan terjadi. Pergilah kau penebar rasa takut. pergi dan kejarlah sendiri harapan-harapanmu itu.

Tidak ada komentar: