Minggu, 12 Mei 2013

Bijaksanalah..


Hari itu senin 06 Mei 2013 engkau muncul kembali, tapi kali ini kehadiranmu tidak seperti biasanya. Engkau datang tidak sendirian. Seorang yang sebelumnya pernah menduduki posisi penting di dinas yang membawahi sekolah, hanya saja kali ini ditugaskan kembali untuk mengawasi pegawai fungsiaonal dijajaran dinas yang sama engkau ajak untuk mengiringi langkahmu. Kedatanganmu sudah aku duga, setidaknya terlihat dari pancaran aurah wajahmu yang seolah menebarkan aroma yang tidak bersahabat. Setelah dipersilakan duduk oleh pimpinan –dalam hal ini atasan langsungku- engkau pun langsung menyampaikan maksud kedatanganmu.

Tanpa basa basi, bahkan tanpa prolog dari atasan langsungku dilembaga ini tentang penyampaian maksud kedatangan, kata-kata demi kata yang kemudian terangkai dalam satu kalimat meluncur sama persis dengan selentingan bahasa yang sayup-sayup sempat sampai ketelingaku minggu-minggu sebelumnya. Sebuah harapan -boleh dikata keinginanmu yang sesungguhnya entah motifnya apa-  mengarah kepadaku, yang intinya meminta atasan langsungku di lembaga ini agar aku kembali melaksanakan tugas ditempat yang engkau kehendaki.

Tanpa diminta, atasan langsungku dilembaga ini yang dilatari oleh tanggungjawab terhadap bawahannya atau boleh dikata sikap bawahannya, langsung menanggapi dengan menjelaskan duduk persoalan kenapa aku dan beberapa teman-temanku berada disini. Oh iya, dalam posisi ini aku tidak sendirian. Setidaknya ada satu temanku karena alasan efektifitas pelayanan memutuskan untuk bertugas ditempat ini. Kami bukan tidak tahu resikonya. Tapi alasan kemanusiaan dan paling tidak maksimalisasi pengabdian atas tanggungjawab keilmuan mebuat kami mengambil keputusan ini.

Dus, akupun nimbrung bicara yang intinya alasan keberadaan saya disini semata-mata bukan persoalan pragmatis -meskipun tidak dipungkiri aku sudah merasa sedikit nyaman ditempat ini- tapi berdasarkan alasan kemanusiaan dan keprihatinan terhadap kondisi lembaga yang aku diami saat ini.

Suaraku memang agak meninggi meskipun aku tetap sadar tidak sepantasnya meninggikan suara dihadapan pejabat sepertimu. Tapi apa boleh buat sikapmu yang kau tunjukkan hari ini mungkin lebih pas jika engkau gunakan 15 atau 20 tahun yang lalu –tepatnya sebelum tahun 1998- dimana titah dan sabda penguasa lebih sakral dari kitab suci dan undang-undang manapun. Aku bukan memperkarakan gaya kepemimpinanmu Harapanku sebenarnya hanya satu, sebagai pemimpin, jika terlalu sulit berlaku adil maka paling tidak bijaksana.

Setelah mendapatkan tanggapan yang mungkin tidak pernah engkau duga sebelumnya, celoteh bijak muncul dari pengawas yang engkau ajak bersama, seiring dengan bahasamu mulai lembek dan permohonan maaf meluncur dari mulutmu. Pertemuanpun berakhir, engkau berusaha membuat suasana menjadi cair. Kita saling berjabat tangan seiring dengan celoteh permohonan maaf terus meluncur dari mulut. Aku teringat bahasanya Goenawan Mohamad “memaafkan bukan penghapusan dosa melainkan penegasan akan adanya dosa setelah itu hidup bangkit lagi dengan tragedi, dendam dan trauma” aku ngerih dengan itu.

Tidak ada komentar: