Hari itu senin 06 Mei 2013 engkau muncul
kembali, tapi kali ini kehadiranmu tidak seperti biasanya. Engkau datang tidak
sendirian. Seorang yang sebelumnya pernah menduduki posisi penting di dinas
yang membawahi sekolah, hanya saja kali ini ditugaskan kembali untuk mengawasi
pegawai fungsiaonal dijajaran dinas yang sama engkau ajak untuk mengiringi
langkahmu. Kedatanganmu sudah aku duga, setidaknya terlihat dari pancaran aurah
wajahmu yang seolah menebarkan aroma yang tidak bersahabat. Setelah dipersilakan
duduk oleh pimpinan –dalam hal ini atasan langsungku- engkau pun langsung
menyampaikan maksud kedatanganmu.
Tanpa basa basi, bahkan tanpa prolog dari
atasan langsungku dilembaga ini tentang penyampaian maksud kedatangan, kata-kata
demi kata yang kemudian terangkai dalam satu kalimat meluncur sama persis dengan
selentingan bahasa yang sayup-sayup sempat sampai ketelingaku minggu-minggu
sebelumnya. Sebuah harapan -boleh dikata keinginanmu yang sesungguhnya entah
motifnya apa- mengarah kepadaku, yang
intinya meminta atasan langsungku di lembaga ini agar aku kembali melaksanakan
tugas ditempat yang engkau kehendaki.
Tanpa diminta, atasan langsungku dilembaga
ini yang dilatari oleh tanggungjawab terhadap bawahannya atau boleh dikata
sikap bawahannya, langsung menanggapi dengan menjelaskan duduk persoalan kenapa
aku dan beberapa teman-temanku berada disini. Oh iya, dalam posisi ini aku
tidak sendirian. Setidaknya ada satu temanku karena alasan efektifitas
pelayanan memutuskan untuk bertugas ditempat ini. Kami bukan tidak tahu
resikonya. Tapi alasan kemanusiaan dan paling tidak maksimalisasi pengabdian
atas tanggungjawab keilmuan mebuat kami mengambil keputusan ini.
Dus, akupun nimbrung bicara yang intinya alasan keberadaan saya disini
semata-mata bukan persoalan pragmatis -meskipun tidak dipungkiri aku sudah
merasa sedikit nyaman ditempat ini- tapi berdasarkan alasan kemanusiaan dan
keprihatinan terhadap kondisi lembaga yang aku diami saat ini.
Suaraku memang agak meninggi meskipun aku
tetap sadar tidak sepantasnya meninggikan suara dihadapan pejabat sepertimu.
Tapi apa boleh buat sikapmu yang kau tunjukkan hari ini mungkin lebih pas jika
engkau gunakan 15 atau 20 tahun yang lalu –tepatnya sebelum tahun 1998- dimana
titah dan sabda penguasa lebih sakral dari kitab suci dan undang-undang
manapun. Aku bukan memperkarakan gaya kepemimpinanmu Harapanku sebenarnya hanya
satu, sebagai pemimpin, jika terlalu
sulit berlaku adil maka paling tidak bijaksana.
Setelah mendapatkan tanggapan yang mungkin
tidak pernah engkau duga sebelumnya, celoteh bijak muncul dari pengawas yang
engkau ajak bersama, seiring dengan bahasamu mulai lembek dan permohonan maaf
meluncur dari mulutmu. Pertemuanpun berakhir, engkau berusaha membuat suasana
menjadi cair. Kita saling berjabat tangan seiring dengan celoteh permohonan
maaf terus meluncur dari mulut. Aku teringat bahasanya Goenawan Mohamad “memaafkan bukan penghapusan dosa melainkan penegasan akan adanya dosa
setelah itu hidup bangkit lagi dengan tragedi, dendam dan trauma” aku
ngerih dengan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar