Rabu, 13 Januari 2021

Mengikat Ilmu dengan Meresensi

 “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Demikian Hernowo-penulis 24 buku dalam 4 tahun dan pencetak buku-buku best seller-menulis kata-kata tersebut sebagai pembuka tulisan salah satu bab dalam karyanya, Mengikat Makna Update (2009:102). Ia mengaku suka mengutip kata-kata ini karena kebermaknaannya. Bahkan, menurut pengakuannya, kata-kata yang ia kutip dari salah seorang Khulafaur Rasyidin yang pernah membuat buku yang dikenal dengan Nahjul Balaghah ini kemudian menginspirasinya untuk menemukan kegiatan memadukan kegiatan membaca dan menulis dengan nama “Mengikat Makna”.

“Pengingat terbaik adalah dengan menuliskan apa yang dibaca.” Ungkap Muhidin M. Dahlan saat memberikan penekanannya terkait dengan manfaat meresensi buku pada kalimat ke empat paragraf kedua halaman sepuluh bab pendahuluan buku Inilah Resensi.

Seperti judulnya, buku ini menyodorkan lebih dari 200 resensi buku dengan tidak kurang dari 100 perensensi lintas generasi dan profesi yang terbit dalam rentang waktu lebih dari satu abad-113 tahun-yaitu tahun 1902 hingga 2015. Dengan demikian, dalam lawatan waktu yang cukup panjang ini, kita menemukan dinamika sikap dan pemikiran para pesohor dan tokoh bangsa atas sebuah buku dan rekaman atas hasil pemikiran di dalamnya.

Buku yang terdiri dari tiga bagian utama ini diawali dengan tiga hal yang penting untuk dicermati terkait dengan membaca sebagai inti dari meresensi buku. Tiga hal penting tersebut yaitu; merencanakan bacaan, fokus dan dalam saat membaca, dan berbagi ala kadarnya apa yang sedang dibaca. “Dengan fokus dan terencana, kita tak tergoda dengan bacaan lain yang lebih menggiurkan. Kita tak terganggu dengan lalu lintas buku baru yang menggoda di lini masa media sosial.”(hal.12). Berbagi ala kadarnya dimaskudkan untuk menemukan kemungkinan masukan berarti yang datang dari luar.

 

Judul Buku  : Inilah Resensi

Penulis          : Muhidin M. Dahlan

Penerbit        : I:Boekoe

Tebal              : 256 Halaman

ISBN              : 978-979-1436-60-1

 

Berbagai motif dan alasan serta bagaiamana para pesohor dalam meresensi buku dapat kita temukan pada bagian satu dari tiga bagian utama buku ini. Katakanlah Ir. Sukarno. Beliau meresensi buku sebagai cara untuk memberikan tanggapan atas rangkaian peristiwa dunia dengan segala kekalutannya. Motif Sukarno meresensi-dalam istilahnya, “menilik”-buku itu, sebagai upayanya untuk mengetahui dan terlibat lebih jauh dalam memahami apa yang terjadi dalam perang dunia kedua. Di sini, kita akan dibawa untuk melihat ketajaman analisa Sukarno dan keseriusannya dalam menilik suatu buku berdasarkan kesamaan tema. Barangkali motif Sukarno dalam meresensi buku ini dapat menginspirasi kita untuk mendalami tema-tema tertentu melalui membaca dan mengulasnya kembali.

Lain halnya dengan Muhammad Hatta. Sang Prokramator yang satu ini meresensi-dalam istilahnya kupasan-buku sebagai proklamasi pertemanan. Pada bagian ini juga, kita menemukan bagaimana para pesohor seperti Poerbatjaraka, P. Swantoro, Sumitro Djojohadikusumo, dan H.B . Jasin dalam meresensi suatu buku dianalisis dengan sangat tajam.

Pada bagian dua dari buku ini, kita diajak menemukan resensi-resensi yang menggemparkan jagad media masa saat itu yang mungkin orang saat ini menyebutnya kegaduhan. Di sini kita disuguhkan resensi atas buku yang melahirkan tanggapan dan dibicarakan sepanjang tahun dan bahkan ditanggapi di lebih dari satu surat kabar. Nama-nama peresensi yang muncul di antaranya, Marco Kartodikromo yang membalas resensi Tjan Kiem Bie bertajuk “Mata Gelap,” dengan resensinya “pembitjar’an boekoe.”

Pada bagian ini pula kita mendapati Abdullah Sp yang membuat Hamka berada di pusaran badai buku. Muhidin dengan sangat jeli mengisahkan bagaimana Abdullah Sp menaikkan tensi ulasannya atas roman Hamka “Tenggelamnya Kapal v.d Wijck” sebayak tiga oktaf dengan oktaf tertinggi bertajuk “Aku Mendakwa Hamka Plagiat.

Selain itu, bagian ini dihiasi pula dengan peresensi seperti  H.B. Jassin yang pasang badan atas tuduhan terhadap Hamka. Di satu sisi, ada juga Hamka, yang menggugat buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan dengan tuduhan dusta. Demikian juga, peresensi H. Oemar Bakry Dt. Tan Besar, S.I. Peradisastra (si pembunuh buku), dan Saur Hutabarat serta Majalah Tempo tak luput dari tilikan Muhidin di bagian kedua ini. Menariknya, dipaparkan juga sistem yang digunakan para peresensi untuk menggugat suatu buku.

Adapun panduan yang paling praktis dalam meresensi suatu buku kita bisa temukan pada bagian tiga buku ini. Di bagian ini, kita seolah dituntun dengan cara praktis tentang bagaimana meramu suatu judul, menaklukan paragraf pertama, memainkan narasi di tubuh resensi, dan mengunci paragraf terakhir. Praktisnya, setiap elemen dari anatomi resensi ditinjau dari beberapa sisi dengan menyandingkan contoh-contoh dari resensi-resensi yang pernah diterbitkan. Katakanlah meramu judul. Kita disuguhkan berbagai jenis judul yang telah diidentifikasi dari resensi-resensi yang pernah terbit . Tak hanya itu, setiap jenis judul selalu disertai dengan contoh judul, mulai dari bagaimana judul yang menggelegar, ironi, tindakan tokoh, waktu selisih, penulis, serial, poin terpenting, pertanyaan, metafora, mengolah judul buku, istilah khas dan populer, penjelasan, keluasan dan peristiwa buku, geografi, kontradiksi, penekanan dan definitif.

Menariknya, dalam mengulas narasi-narasi di tubuh resensi, Gusmuh-nama panggilan Muhidin M. Dahlan-tidak hanya menyuguhkan bagaimana peresensi yang berhasil menemukan inti dari buku yang diulasnya sekaligus membantah pandangan-pandangan orang lain. Gusmuh sekaligus memberikan contoh bagaimana cara pemalas meresensi buku.

Buku ini sangat pantas dibaca. Sebab, buku ini tidak hanya memuat panduan praktis bagaimanan struktur resensi, tetapi sekaligus mengajak kita melakukan lawatan sejarah yang jauh terhadap praktik penulisan resensi dengan segala motivasinya.

Bahkan, ulasan ini lahir dari bercermin terhadap motivasi Sukarno-Hatta yang sebagaimana dituliskan dalam buku ini bahwa menuliskan kembali kesan terhadap buku yang dibaca merupakan siasat kita mengikat ilmu pengetahuan. Selain itu, pesan penting pada pendahuluan buku ini, telah memberi saya arah baru dalam membaca buku.

Resensi ini bisa juga Anda baca di sini