Senin, 29 November 2010

Krisis Identitas ; Kegamangan Pencarian Bentuk Organisasi (Refleksi Terhadap Perayaan Hari Ulang Tahun PGRI) Oleh : Karnain M

Dalam artikelnya Identitas Hibrida, meski kemudian mengkritiknya, Antariksa mengutip pernyataan Ben Anderson dalam bukunya Imagined Communities: Reflections on the Origins and Spread of Nationalism (1983), Ben Anderson menyatakan “bangsa” adalah sebuah “komunitas imajiner” dan identitas nasional adalah sebuah konstruksi yang diciptakan lewat simbol-simbol dan ritual-ritual dalam hubungannya dengan kategori administratif dan teritori. Menurutnya, lanjut Antariksa, bahasa nasional, kesadaran waktu, dan kesadaran ruang, merupakan konstruksi yang diciptakan lewat fasilitas-fasilitas komunikasi. Ia menjelaskan bahwa produksi koran dan buku-buku misalnya, menetapkan standar-standar bahasa yang kemudian menyediakan kondisi bagi terbentuknya sebuah kesadaran nasional.


Antariksa mengemukakan kritik bahwa pemikiran Anderson ini terlalu menganggap bahasa bersifat stabil. Menurutnya, Anderson terlalu menekankan aspek homogen, kesatuan, dan kekuatan perasaan kebangsaan yang mengatasi perbedaan kelas, gender, etnisitas dsb, dengan tidak melihat bahwa perbedaan konteks dan lapangan-lapangan interaksi ternyata menciptakan identitas yang khusus dan berbeda-beda.

Di sini, kita tidak membahas terlalu jauh tentang kritik Antariksa terhadap pemikiran Anderson tersebut. Sekilas tentang kutipan pemikiran Ben Anderson dan kritik yang disampaikan Antariksa tersebut menjadi menarik jika kita gunakan untuk melakukan telaah terhadap apa yang baru saja terjadi sehubungan dengan perayaan Hari Ulang Tahun PGRI di Kabupaten Buol. Di mana, untuk mengawali semua rangkaian kegiatan menyongsong HUT PGRI, PGRI Kabupaten Buol mengadakan pawai (konfoi kendaraan), kemudian diikuti pelaksanaan kegiatan olah raga. Tentunya, apa yang dilakukan tersebut tidak terlepas dari adanya sebuah pesan yang hendak dikonstruksi.

Tulisan ini lahir karena adanya keresahan sebagian kalangan khusunya di tubuh PGRI terhadap pelaksaan kegiatan tersebut. Keresahan tersebut lahir karena memperhatikan perkembangan tiga tahun terakhir yang terjadi di tubuh PGRI. Hampir setiap menyongsong HUT PGRI selalu diawali dengan sebuah ritual pawai (konfoi kendaraan). Banyak kalangan yang tidak mengerti apa maksud dan sasaran kegiatan tersebut. Padahal dengan memperhatikan perkembangan diberbagai belahan dunia bahkan negeri ini menunjukkan bahwa pawai, konfoi, iring-iringan merupakan sebuah bentuk bahasa komunikasi yang dipraktekkan oleh Partai Politik untuk mengkomunikasikan pesan-pesan sekaligus melihat kekuatannya. Pun demikian, hal itu dilakukan oleh PGRI meski diketahui bahwa sejatinyanya PGRI merupakan organisasi profesi.

Lepas dari pantas tidaknya kegiatan tersebut dilakukan PGRI, dengan pendekatan pemikiran Ben Anderson dan Antariksa di atas, kami mencoba untuk memahami beberapa kemungkinan yang melatari pagelaran tersebut. Kemungkinan pertama, sebagai organisasi, PGRI terperangkap pada upaya membangun (disebut Anderson) “komunitas imajiner” dengan mengkonstruksi identitas lewat simbol-simbol dan ritual-ritual tertentu (konfoi/arak-arakan). Di sini PGRI mencoba mengonstruksi kesadaran ruang dengan menciptakan fasilitas-fasilitas komunikasi massa. Kemungkinan kedua, PGRI mencoba menetapkan standar-standar kegiatan yang menyediakan kondisi bagi terbentuknya sebuah kesadaran komunitas (red, organisasi). Padahal (menyitir Antariksa), kegiatan seperti ini terlalu menekankan aspek homogenitas, kesatuan, dan kekuatan perasaan keorganisasian yang mengatasi perbedaan kelas, gender, etnisitas dsb, dengan tidak melihat bahwa perbedaan konteks dan lapangan-lapangan interaksi yang ternyata menciptakan identitas yang khusus dan berbeda-beda. Apalagi, setiap individu dalam tubuh PGRI memiliki latar keilmuan yang berbeda. Kemungkinan ketiga, karena politisasi birokrasi di tubuh PGRI, sehingga PGRI mencoba menerapkan konsep (meminjam istilah Tomlinson) imperialisme kultural, untuk mencoba melakukan dominasi kebiasaan individu dengan menciptakan “kesadaran palsu” lewat budaya massa.

Sangat disayangkan, jika kemungkinan-kemungkinan di atas benar, karena boleh dikata PGRI merupakan komunitas Intelektual yang diharapkan mampu melahirkan sekaligus mempraktekkan suatu kegiatan yang bernuansa intelektual. Kegiatan yang mampu melahirkan perubahan mendasar dengan menyentuh aspek kesadaran kemanusiaan. Kesadaran yang lahir dari pergumulan intelektual karena didasarkan pada kualitas hati, pikiran, atau jiwa. Karena, jika kegiatan tidak didasarkan pada kualitas hati, pikiran atau jiwa, sebagaimana disinggung orator cemerlang, Paul H. Dunn, dalam salah satu pidatonya berarti kita mendasarkannya pada pijakan yang sangat labil…”

Jika sudah seperti ini, maka PGRI sebagai organisasi benar-benar berada pada kegamangan bentuk organisasi. Oleh karena itu, sebagai warga PGRI kami mencoba membuka kembali pekerjaan rumah yang perlu segera dikerjakan. Di antara Pekerjaan rumah tersebut menurut kami terdapat tiga hal yang menjadi skala prioritas. Pertama, “kritik diri”. Sebagai Komunitas Intelektual maka PGRI seharusnya mulai melakukan kritik diri “ siapa dia sebenarnya dan apa sesungguhnya yang harus dilakukan”. Dengan begitu maka kita sanggup melihat apa sesungguhnya yang menjadi kekurangan selama ini, dan apa yang mesti kita lakukan sebagai organisasi yang notabene memiliki sumber daya keilmuan yang memadai. PGRI mestinya sadar bahwa PGRI memiliki peran yang cukup signifikan terhadap pengembangan Sumber Daya Manusia. Namun, perlu disadari bahwa selama ini PGRI terjebak pada acara-acara yang sifatnya seremonial dengan menciptakan ritual-ritual baru, meskipun PGRI bukan Partai ataupun KONI. Padahal, lebih spesifik masih banyak persoalan yang melilit dunia pendidikan hari ini yang jauh lebih penting untuk diperhatikan. Kedua, jujur dengan Pikiran-pikirannya. PGRI mestinya mulai jujur dengan pikiran-pikirannya. Ia mesti mampu bertindak sesuai dengan pikiran-pikirannya. Dengan demikian PGRI tidak akan mudah dikooptisi oleh situasi apapun selain rumusan tujuannya. Bahkan Lebih jauh, tuduhan bahwa PGRI sepertinya belum sanggup melepaskan diri dari dominasi politik daerah yang mengerangkeng dirinya sehingga terkesan bahwa di tubuh PGRI berlangsung politisasi birokrasi akan sangat mudah untuk ditepis. Ketiga, belajar bertanggungjawab. Tanggung jawab disini adalah tanggungjawab PGRI terhadap masa depan pendidikan. Kita semua tahu bahwa wajah pendidikan hari ini sangat memprihatikan. Berita tentang rendahnya mutu pendidikan, “rusak”nya mekanisme penyelenggaraan UN sampai pada maraknya mafia pendidikan (mafia gelar), serta sederatan masalah yang masih menghiasi wajah pendidikan tentu menuntut tanggung jawab semua pihak termasuk PGRI. Namun, realitas menunjukkan bahwa yang terjadi adalah upaya untuk saling melempar tanggung jawab. Bahwa ini adalah tanggung jawab guru, ini adalah tanggungjawab sekolah, ini kesalahan pemerintah, ini kesalahan orang tua, dan seterusnya terjadi sebuah mata rantai lingkaran setan. Sangat disayangkan, jika PGRI abai dalam masalah ini dan lebih terjebak pada kegiatan seremonial belaka. Semestinya, saatnya PGRI tampil untuk berani melawan arus ini dan menegakkan suatu masyarakat yang bertanggung jawab dengan dimulai dari tubuh PGRI sendiri.

Tentunya, ditengah kuatnya dominasi politik daerah saat ini, hal yang mendesak untuk dilakukan adalah refleksi dan penegasan kembali tujuan dan fungsi organisasi sebar-benar organisasi profesi.

Tidak ada komentar: