Selasa, 25 Januari 2022

Pogoguanan (1)

 Setelah pelayaran panjang diakibatkan air bah melanda dunia, kapal nabi Nuh dihantam gelombang maha dahsyat. Hantaman gelombang menyebabkan kapal berputar yang melahirkan ombak beranakkan bui air laut yang banyak berwarna putih.

Waktu terus berlalu seiring mengeringnya bui itu. Pada saat bersamaan muncullah pulau-pulau, daratan-daratan, gunung-gunung lengkap dengan tumbuhan dan bintang-bintang. Tempat itu kemudian menjelma menjadi sebuah negeri yang kemudian diberi nama dengan asal kata Bvulya (bui).

Di antara gunung-gunung yang muncul, terdapat gunung yang diperebutkan oleh dua kaum. Kaum "Manurung" sebagai titisan penghuni kayangan berebut wilayah pegunungan dengan manusia biasa, "Ombu Kilano". Gunung yang diperebutkan kemudian diberi nama "Pogoguanan," yang belakangan dikenal dengan Pogogul.

 Alkisah, secara tiba-tiba dari atas batu besar di puncak gunung, muncullah seorang putri yang belakangan dikenal dengan Putri Kinumilat. Di satu sisi, dari balik rumpun Bambu Kuning muncullah seorang lelaki yang terkenal dengan kecerdasannya. Lelaki tersebut bernama Tamatau.

"Siapa di sana?" tanya sang Putri.

Tamatau kaget bukan kepalang. Mengapa ada Putri secantik ini di tengah hutan belantara, pikirnya. Tamatau nampak berhati-hati sambil mengamati sang Putri.

"Aku adalah penghuni bambu Kuning. "Kau siapa, mengapa ada di tempat ini?," Tamatau kembali bertanya pada sang Putri.

"Aku dari Kahyangan, aku..."

Tiba-tiba mulutnya terhenti, yang terdengar hanya Isak tangis. Dengan linangan air mata sang Putri mulai bercerita.

"Aku sebenarnya turun bersama saudari-saudariku, akan tetapi aku terpaksa tertinggal dan tak bisa kembali karena pada saat turun aku melupakan selendang sebagai bagian pakaianku yang merupakan prasyarat untuk bisa kembali. Aku takut. Aku sangat takut."

Tamatau menjadi ibah. Ia kemudian memberanikan diri untuk mendekat.

"Jangan takut, di sini ada aku, aku berjanji untuk menjagamu hingga saudari-saudarimu datang menjemput.

Waktu terus berjalan, kesunyian rimba belantara lambat laun mengubah hati keduanya menjadi saling menerima dan terpaut satu sama lain. Hasrat tak bisa dibendung, ia terus membuncah bag lahar dalam perut gunung berapi yang terus berjuang untuk keluar melahirkan dentuman. Mereka berdua pun memutuskan untuk melangsungkan perkawinan. Dari perkawinan mereka, lahirlah seorang anak yang dikenal dengan Tangga Alam Dono Langit.

 

Bersambung...

Kamis, 11 November 2021

Lupa cara mencintai

Aku menyesal, katamu lirih. Kau datang dengan wajah datar seolah tak menyisakan guratan kebahagiaan. Matamu berkaca saat mulutmu mengeja frasa tentang suatu fase kehidupan yang telah engkau lakoni 3 tahun terakhir.

Dengan segala pilu yang tersembunyi di balik bilik matamu kau melanjutkan menyulam kata merangkai kisah hidupmu yang tak asyik di dengar. Aku pikir cerita seperti ini hanya ada dalam tayangan film-film Indosiar. Hari ini dengan segala sesal kau mendarasnya dari rangkaian kenyataan.
Aku melihat dari bilik matamu bahwa hatimu menangis sedu. Syukur saji masih tersisa ego lelakimu yang membalut kesedihan itu hingga tak seluruhnya tumpah.
"Dasar perempuan berkepala merak." Tetiba terdengar kau mengumpat. Seolah engkau menderita kesal akut. Padahal sebelum-sebelumnya bahkan engkau tak sanggup bicara kasar pada perempuan. Seolah engkau telah melupakan cara mencintai di mana dirimu pernah buta dibuatnya. Pengalaman hidup memang kerap kali adalah nasihat paling ampuh dalam menyulam kesadaran. Sayangnya, seringkali ia terbaca setelah kehancuran suatu fase kehidupan.
Bahkan terkadang, nasihat orang tua, saudara apalagi teman tak cukup ampuh menyadarkan kita. Apalagi hanya cerita, seperti cerpen.

Buol, 11 Nopember 2021

Lupa

Satu jam telah berlalu, Aku masih saja terjebak di pelataran salah satu mesjid kecil di tepi jalan yang sering aku lewati setiap wara wiri ketempat kerja. Berteduh di tempat wudhu para jamaah jika hendak menunaikan shalat. Hujan belum juga menunjukkan tanda-tanda mau redah. Padahal telah mengencingi bumi sejak bumi mulai terang meski sang Surya belum sempat menampakkan diri.
"Sial," gumamku. Kondisi alam memaksaku untuk mampir di tempat ini. Padahal, di hari-hari sebelumnya aku melewatinya berlalu begitu saja, meski mendengar suara Muazin menggema dari toa yang tergantung di atas kubah. Hati tidak pernah tergerak untuk menghampirinya. Iya, aku telah berjalan terlalu jauh tunduk pada kesibukan-kesibukanku dan melupakan seluruh ajaran guru ngajiku dahulu di masa kanak-kanak.
Tiba-tiba hati berbisik, "mengapa aku tidak lepas saja sepatu, mengambil air wudhu sembari melaksanakan shalat Dhuha". Shalat yang dipercaya membuka pintu-pintu Rizki, keberkahan dan kebahagiaan. Bukankah dulu semasa masih sekolah meski tak rutin tetapi sering mengerjakannya. Lagi pula, hujan belum juga menampakkan tanda-tanda mau redah.
Saat mau membuka sepatu, tiba-tiba muncul pikiran lain. "Apakah kau tidak malu, tiba-tiba melaksanakan sesuatu yang sudah lama kau abaikan hanya karena kondisimu terjebak". Pikiran kembali berkecamuk. Antara mau melaksanakan atau tidak.
"Apa tidak sebaiknya aku memaksakan diri mengambil sepedaku sambil menerobos hujan. Tidak, tidak, hujannya terlalu deras. Jika pilihan itu aku lakukan batuk pasti akan kambuh lagi".
Aku terbayang akan kehidupan di tahun-tahun lalu saat masih ngaji di masa kecil, di mana hati sangat terpaut dengan Masjid, seolah melangkah ke Masjid tanpa beban saat azan berkumandang. Hati penuh dengan kegembiraan dan kebahagiaan. Kini aku telah jauh dari perasaan itu. Sejak kesibukan mengejar dunia di tengah hiruk pikuk kehidupan.
Tiba-tiba dorongan untuk memasuki Masjid muncul lagi. "Ayolah, ini lah saatnya untuk memperbaiki. Anda berada dan terjebak di sini bukanlah kebetulan". Akan tetapi, sekali lagi aku benar-benar malu, malu pada diri sendiri, malu atas kealpaan-kealpaanku selama ini. Bagaimana mungkin aku melakukan hal yang bertahun-tahun tak lagi dianggap menjadi hal penting untuk dilakukan.
Hujan sudah mulai menunjukkan tanda-tanda mau redah. "Kamu harus melakukannya, bisik hatiku". Aku melepaskan sepatu, bergegas ke salah satu kran di tempat wudhu.

Aku terpaku, hujan sudah benar-benar mau redah. Aku bimbang, apa aku lanjutkan perjalanan saja atau masuk untuk melaksanakan shalat. Dan akhirnya aku putuskan untuk melanjutkan perjalanan. Aku lupa mandi wajib. 

Buol, 9 Nopember 2021

Kamis, 04 November 2021

KRITIK

Ketika salah satu Arsitek Revolusi Islam Iran dari sayap kiri, Ali Syari'ati ditanya oleh salah satu Garda Revolusi dari sayap kanan Murthada Muthahari, "mengapa Anda terus menerus mengkritik Hauzah (semacam pusat pendidikan Islam semacam pesantren) dan tidak mengkritik pendidikan barat padahal di sana juga sangat banyak yang perlu dikritik?". Ali Syari'ati menjawab, "saya mengkritik Hauzah karena saya punya kepentingan besar untuk Hauzah bisa berbenah diri dan maju", sedangkan untuk pendidikan-pendidikan barat saya tidak memiliki harapan apa-apa di sana".

Iya. Dalam perkara kritik mengkritik kita sering menemukan beragam tanggapan. Ada yang menanggapinya positif sebagai alat untuk mengevaluasi diri dan kebijakan, namun tak sedikit yang menanggapi negatif dan memusuhi pengkritik.


Tak jarang kita mendengar ucapan, "Anda hanya tau mengkritik saja, mana kerjamu", padahal ia tak memiliki akses untuk bekerja pada wilayah itu karena tak memiliki akses apalagi dalam hal pengambilan kebijakan. Maka, tentu saja langkah yang paling mungkin menjadi sumbangsihnya adalah melakukan evaluasi termasuk kritik konstruktif terhadap ketimpangan yang ia lihat. Ada pula yang berceloteh, "jangan hanya mengkritik, beri solusi". Nah pernyataan seperti ini apalagi. Tugas kritikus ya mengkritik, mencari solusi adalah tugas para pengambil kebijakan yang dipercayakan di sana. Bukankah ia diberi tugas di sana karena dianggap cakap untuk pekerjaan itu.

Namun demikian, nampak bahwa kita belum siap dengan tradisi kritik mengkritik, baik pihak yang dikritik maupun pengkritik. Yang dikritik alih-alih mengevaluasi diri dan kebijakan malah tak jarang ia menganggap dihina. Demikian pula pengritik, alih-alih ia memberikan kritik malah terjebak pada menghina dan tak jarang memfitnah.


Semoga kita makin dewasa menyikapi kritik.

Rabu, 13 Januari 2021

Mengikat Ilmu dengan Meresensi

 “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya”. Demikian Hernowo-penulis 24 buku dalam 4 tahun dan pencetak buku-buku best seller-menulis kata-kata tersebut sebagai pembuka tulisan salah satu bab dalam karyanya, Mengikat Makna Update (2009:102). Ia mengaku suka mengutip kata-kata ini karena kebermaknaannya. Bahkan, menurut pengakuannya, kata-kata yang ia kutip dari salah seorang Khulafaur Rasyidin yang pernah membuat buku yang dikenal dengan Nahjul Balaghah ini kemudian menginspirasinya untuk menemukan kegiatan memadukan kegiatan membaca dan menulis dengan nama “Mengikat Makna”.

“Pengingat terbaik adalah dengan menuliskan apa yang dibaca.” Ungkap Muhidin M. Dahlan saat memberikan penekanannya terkait dengan manfaat meresensi buku pada kalimat ke empat paragraf kedua halaman sepuluh bab pendahuluan buku Inilah Resensi.

Seperti judulnya, buku ini menyodorkan lebih dari 200 resensi buku dengan tidak kurang dari 100 perensensi lintas generasi dan profesi yang terbit dalam rentang waktu lebih dari satu abad-113 tahun-yaitu tahun 1902 hingga 2015. Dengan demikian, dalam lawatan waktu yang cukup panjang ini, kita menemukan dinamika sikap dan pemikiran para pesohor dan tokoh bangsa atas sebuah buku dan rekaman atas hasil pemikiran di dalamnya.

Buku yang terdiri dari tiga bagian utama ini diawali dengan tiga hal yang penting untuk dicermati terkait dengan membaca sebagai inti dari meresensi buku. Tiga hal penting tersebut yaitu; merencanakan bacaan, fokus dan dalam saat membaca, dan berbagi ala kadarnya apa yang sedang dibaca. “Dengan fokus dan terencana, kita tak tergoda dengan bacaan lain yang lebih menggiurkan. Kita tak terganggu dengan lalu lintas buku baru yang menggoda di lini masa media sosial.”(hal.12). Berbagi ala kadarnya dimaskudkan untuk menemukan kemungkinan masukan berarti yang datang dari luar.

 

Judul Buku  : Inilah Resensi

Penulis          : Muhidin M. Dahlan

Penerbit        : I:Boekoe

Tebal              : 256 Halaman

ISBN              : 978-979-1436-60-1

 

Berbagai motif dan alasan serta bagaiamana para pesohor dalam meresensi buku dapat kita temukan pada bagian satu dari tiga bagian utama buku ini. Katakanlah Ir. Sukarno. Beliau meresensi buku sebagai cara untuk memberikan tanggapan atas rangkaian peristiwa dunia dengan segala kekalutannya. Motif Sukarno meresensi-dalam istilahnya, “menilik”-buku itu, sebagai upayanya untuk mengetahui dan terlibat lebih jauh dalam memahami apa yang terjadi dalam perang dunia kedua. Di sini, kita akan dibawa untuk melihat ketajaman analisa Sukarno dan keseriusannya dalam menilik suatu buku berdasarkan kesamaan tema. Barangkali motif Sukarno dalam meresensi buku ini dapat menginspirasi kita untuk mendalami tema-tema tertentu melalui membaca dan mengulasnya kembali.

Lain halnya dengan Muhammad Hatta. Sang Prokramator yang satu ini meresensi-dalam istilahnya kupasan-buku sebagai proklamasi pertemanan. Pada bagian ini juga, kita menemukan bagaimana para pesohor seperti Poerbatjaraka, P. Swantoro, Sumitro Djojohadikusumo, dan H.B . Jasin dalam meresensi suatu buku dianalisis dengan sangat tajam.

Pada bagian dua dari buku ini, kita diajak menemukan resensi-resensi yang menggemparkan jagad media masa saat itu yang mungkin orang saat ini menyebutnya kegaduhan. Di sini kita disuguhkan resensi atas buku yang melahirkan tanggapan dan dibicarakan sepanjang tahun dan bahkan ditanggapi di lebih dari satu surat kabar. Nama-nama peresensi yang muncul di antaranya, Marco Kartodikromo yang membalas resensi Tjan Kiem Bie bertajuk “Mata Gelap,” dengan resensinya “pembitjar’an boekoe.”

Pada bagian ini pula kita mendapati Abdullah Sp yang membuat Hamka berada di pusaran badai buku. Muhidin dengan sangat jeli mengisahkan bagaimana Abdullah Sp menaikkan tensi ulasannya atas roman Hamka “Tenggelamnya Kapal v.d Wijck” sebayak tiga oktaf dengan oktaf tertinggi bertajuk “Aku Mendakwa Hamka Plagiat.

Selain itu, bagian ini dihiasi pula dengan peresensi seperti  H.B. Jassin yang pasang badan atas tuduhan terhadap Hamka. Di satu sisi, ada juga Hamka, yang menggugat buku Tuanku Rao karya Mangaradja Onggang Parlindungan dengan tuduhan dusta. Demikian juga, peresensi H. Oemar Bakry Dt. Tan Besar, S.I. Peradisastra (si pembunuh buku), dan Saur Hutabarat serta Majalah Tempo tak luput dari tilikan Muhidin di bagian kedua ini. Menariknya, dipaparkan juga sistem yang digunakan para peresensi untuk menggugat suatu buku.

Adapun panduan yang paling praktis dalam meresensi suatu buku kita bisa temukan pada bagian tiga buku ini. Di bagian ini, kita seolah dituntun dengan cara praktis tentang bagaimana meramu suatu judul, menaklukan paragraf pertama, memainkan narasi di tubuh resensi, dan mengunci paragraf terakhir. Praktisnya, setiap elemen dari anatomi resensi ditinjau dari beberapa sisi dengan menyandingkan contoh-contoh dari resensi-resensi yang pernah diterbitkan. Katakanlah meramu judul. Kita disuguhkan berbagai jenis judul yang telah diidentifikasi dari resensi-resensi yang pernah terbit . Tak hanya itu, setiap jenis judul selalu disertai dengan contoh judul, mulai dari bagaimana judul yang menggelegar, ironi, tindakan tokoh, waktu selisih, penulis, serial, poin terpenting, pertanyaan, metafora, mengolah judul buku, istilah khas dan populer, penjelasan, keluasan dan peristiwa buku, geografi, kontradiksi, penekanan dan definitif.

Menariknya, dalam mengulas narasi-narasi di tubuh resensi, Gusmuh-nama panggilan Muhidin M. Dahlan-tidak hanya menyuguhkan bagaimana peresensi yang berhasil menemukan inti dari buku yang diulasnya sekaligus membantah pandangan-pandangan orang lain. Gusmuh sekaligus memberikan contoh bagaimana cara pemalas meresensi buku.

Buku ini sangat pantas dibaca. Sebab, buku ini tidak hanya memuat panduan praktis bagaimanan struktur resensi, tetapi sekaligus mengajak kita melakukan lawatan sejarah yang jauh terhadap praktik penulisan resensi dengan segala motivasinya.

Bahkan, ulasan ini lahir dari bercermin terhadap motivasi Sukarno-Hatta yang sebagaimana dituliskan dalam buku ini bahwa menuliskan kembali kesan terhadap buku yang dibaca merupakan siasat kita mengikat ilmu pengetahuan. Selain itu, pesan penting pada pendahuluan buku ini, telah memberi saya arah baru dalam membaca buku.

Resensi ini bisa juga Anda baca di sini

Jumat, 08 April 2016

Perpustakaan


Pagi-pagi membuka perpustakaan mungilku yang berukuran tidak lebih 120 cm persegi. Disana aku disuguhkan berbagai informasi terkini. Salah satu informasi yang sempat menarik perhatianku adalah rencana DPR membangun perpustakaan terbesar dan termegah di Asia tenggara.

Selasa, 16 Juli 2013

Sekolah (1) : Apa Sejatinya ?



Sekolah dalam terminologi Latin  skhole, scola, scolae atau skhola yang memiliki arti waktu luang atau waktu senggang. Artinya bahwa pada masa itu sekolah adalah suatu aktivitas di waktu luang bagi anak-anak. Pengisi waktu luang menandakan bahwa sesungguhnya anak-anak memiliki kegiatan utama.  Tidak ada kegiatan utama seorang anak kecuali bermain. Dengan bermain mereka menghabiskan waktu untuk menikmati masa anak-anak dan remaja.